Selasa, 16 Maret 2010

Dekade Pertama Abad 21 dalam Film-Film Terbaik Versi Patung Manusia Emas itu

Tanggal 8 Maret 2010 tepatnya di Hollywood Kodak Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat acara penganugerahan untuk insan-insan agung dalam perfilman sejagat 82nd Academy Award atau yang lebih awam dikenal sebagai Oscar telah sukses diadakan dengan pendeklarasian film The Hurt Locker menjadi film terbaik atau “Best Motion Picture of the Year” . Judul film The Hurt Locker tidak terasa menandai akhir dari 10 daftar judul film dalam dekade pertama di abad 21 ini. Apa yang sebaiknya kita renungkan untuk mengambil pelajaran atau sekedar mengapresiasi maupun mengkritik dari 10 film terbaik dalam 10 tahun terakhir sekaligus 10 tahun pertama dalam abad 21 tersebut, terlebih mengingat dan menyaksikan ketika kita merefleksikan dengan kondisi perfilman Indonesia yang “semangat dan optimis” namun merasa prihatin dengan penyampaian cerita yang jauh dari pemanfaatan aspek-aspek dalam sebuah film untuk menjadi sebuah tontonan berkualitas dan menghibur tanpa mengesampingkan sisi mengedukasi maupun pewarisan budaya bagi penontonya.



Saya akan mencoba membantu anda terlebih dahulu untuk mengingat judul-judul film yang berhasil memenangkan penghargaan sebagai simbolisasi kesempurnaan dan kemuliaan “manusia emas” dalam dunia perfilman sejagat pada kurun waktu tersebut, yakni American Beauty(2000),Gladiator(2001),A Beautiful Mind(2002), Chicago(2003), The Lord Of the Rings Return of The King(2004),Million Dollar Baby(2005), Crash(2006), The Departed(2007), No Country For Old Men(2008), Slumdog Millionaire(2009), dan terakhir The Hurt Locker(2010).Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pun saya pastinya selalu mengikuti euforia Oscar dengan menonton film-film yang dinominasikan sebelum acara penghargaan hanya demi keantusiasme-an berlebih untuk menerka-nerka sekaligus menentukan film apa yang berhak dianugerahi penghargaan tersebut, dari 10 kali terjebak dalam fenomena tahunan dalam siklus hidup yang saya jalani sampai saat ini sayangnya hanya 1 yang benar-benar sesuai, yakni pada tahun dimana The Hurt Locker menang.Mungkin tulisan ini salah satu bentuk lain yang saya lakukan untuk merayakan kemenangan tersebut.

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai film-film tersebut, saya mencoba menekankan dari awal pemikiran tentang menerima nilai dan potensi sebuah film sebagai karya seni yang tidak semata-mata sebagai media hiburan untuk menikmati sesuatu atau penjelmaan sesuatu yang sedang popular seperti kondisi perfilman Indonesia sekarang dalam pandangan saya, dimana hanya sedikit sehingga terhempas bagaikan pasir yang tersapu ombak di pantai dalam kiasan untuk menggambarkan tak ada seorang pun yang mampu merubah hipnotisme secara sadar sebuah film menjadi karya klasik besar, atau menciptakan karya seni besar dari suatu bentuk tontonan.Jika keberhasilan tersebut telah menciptakan suatu kedudukan finansial bagi produser, bagi banyak pembuat film atau sutradara sukses di negara ini merupakan pembatasan dipaksakan kepada mereka yang ingin mengembangkan kemungkinan artistik suatu film sepenuhnya. Agar bisa berkomunikasi secara efektif dengan sebanyak mungkin orang, mereka terpaksa menurunkan ide-ide dan pencapaian mereka ke tingkat popularitas komersial yang mayoritas kampungan,tidak senonok bahkan dangkal sehingga penonton akan merasa “kembalikan waktu dan perhatian kami”.


Oscar telah merubah cara pandang kita mengenai masalah-masalah sosial dalam 10 jajaran film terbaiknya sepanjang tahun 2000-2010, American Beauty mengajak kita memasuki lingkungan keluarga disfungsional Amerika melalui perasaan seorang ayah yang memasuki usia krisis paruh baya karena hubunganya secara batiniah dengan istri yang bermasalah. Krisis ini semakin memperparah situasi seorang anak perempuanya yang sedang memasuki usia puberitas dimana figur orang tua sangat berperan untuk menjadi tempat bercerita dan berkomunikasi yang paling nyaman. Perselingkuhan kesalahpahaman, sampai fantasi seksual menyimpang menjadi bumbu yang berhasil menyentuh juri-juri Oscar pada tahun 2000 kebelakang dalam drama keluarga yang sangat luarbiasa ini.Kehidupan yang lazim di sebut “suburbian life” yang tenang dan terkesan damai justru biasanya menyimpan masalah yang sangat kompleks sebagai eksplorasi perasaan manusia-manusia di dalamnya,bahkan hal tersebut seringkali harus menguji keterikatan dalam sesuatu yang disebut keluarga, tempat dimana kita akan dipahami apa adanya sebagai manusia yang sudah digariskan takdirnya oleh Tuhan.


Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2002, Oscar harus memberikan predikat Best Motion Picturenya kepada Gladiator yang merubah anggapan kesanggupan manusia untuk menjadi atau mencapai impianya secara “from zero to hero”, Gladiator merupakan cerita yang justru kebalikan dari hal tersebut. Alhasil formula “from hero to zero” semenjak kemenangan Gladiator terus diadopsi oleh Hollywood untuk menjadi cerita-cerita inpiratif pada tahun-tahun kebelakang. Gladiator bila dikaitkan dengan realita pada jaman sekarang ialah betapa banyaknya kalangan dari masyarakat yang cenderung membentuk sebuah kesenjangan sosial cikal bakal kelahiran kapitalisme. Perjuangan melawan kapitalisme ini tergambar secara kolosal dan elegan melalui seorang gladiator yang notabene pada zamannya sama saja seperti budak dalam film Gladiator tersebut.


Pada tahun berikutnya, A Beautiful Mind menjadikan tontonan yang sangat menyentuh tentang arti sebuah kesetiaan dan keterbatasan melalui perjalanan seorang pria penderita schizophrenia dan wanita yang mendampinginya selama sepanjang hidup. Kesetiaan dan keterbatasan tersebut menjadi sebuah hadiah manis dimana kita akan menyaksikan keduanya menjadi inspirasi bagi hidup orang banyak ketika ia mencapai pengakuan teragung sejagat untuk hal kontribusi menuju sebuah pengabdian, A Nobel Prize.A Beautiful Mind mempunyai arti yang sangat special buat saya karena dari 10 film tersebut, ini merupakan film yang berhasil menginspirasi saya untuk mengapresiasi film lebih dalam, dalam realitanya film ini bisa dibilang “mantan”buat saya. Saya tidak lagi menaruh film ini dalam film no 1 favorit sepanjang hidup saya, namun film ini pernah mengisi posisi tersebut.



Mengapresiasi Chicago yang kemudian dinobatkan untuk menjadi salah satu film terbaik Oscar dimata saya mungkin hanya sebuah pencapaian dalam genre film musikal untuk mendapatkan kembali tempat di hati insan perfilman. Bukan dengan alasan yang mengada-ada, Chicago berhasil menjadi potret ambisius seorang insan entertainer dalam keadaan apapun. Bagaiman cerita misteri pembunuhan dapat disampaikan secara berbeda dengan bumbu glamour,indah dan bernyanyi layaknya sebuah film musical ala pentas broadway memang hal yang patut dirayakan pada tahun 2003 silam yang harus dengan memberikan pengakuan sebagai “Best Motion Picture of the Year” untuk Chicago.Hal yang sama kembali terjadi pada Oscar tahun berikutnya ketika The Lord of the Rings: The Return of the King meraih penghargaan yang sama. Pencapaian cerita adapatasi novel sepanjang sejarah sampai saat ini yang nyaris tanpa cela dalam trilogy The Lord of The Rings tidak usah diragukan dan dipertanyakan lagi untuk mendapatkan pengahargaan film terbaik Oscar.


Sayangnya pada tahun 2005 ketika Oscar memenangkan Million Dolar Baby, film yang mengangkat isu dedikasi dan impian dalam balutan isu perjuangan kesetaraan gender justru membuat Oscar pada tahun tersebut kehilangan euforianya. Tampil menjadi luar biasa karena ditampilkan layaknya drama “father daughter relationship” oleh chemistry Clint Eastwood dan Hillary Swank. Tidak dapat diragukan di mata saya 2 nama yang disebutkan sebelumnya menjadi rangsangan kuat untuk menyaksikan filmnya, kolaborasi 2 nama besar peraih 2 kali piala Oscar kategori aktris terbaik dan sutradara terbaik. Untuk sekedar informasi, memenangkan Oscar untuk 2 kali di kategori yang sama sesuatu pencapaian yang mengukuhkan kemampuan mereka tanpa cela.


Kemenangan Crash di tahun 2006 mungkin kemenangan paling fenomenal dalam sejarah Oscar sepanjang 10 tahun kebelakang. Saya masih ingat publisitas media hampir terserap dengan keindahan dalam kepiluan film Brokeback Mountain garapan Ang Lee, film yang sempat mencoba akan merubah pandangan dunia akan isu-isu hubungan cinta sejenis.Tapi Oscar justru memberikan awardnya kepada film yang mencoba menghadirkan isu-isu urban kehidupan modern sehari-hari amerika, negara dengan populasi penduduk paling beragam dunia. Hal istimewa lain dari kemenangan Crash yakni baru pertama kalinya film dengan gaya penceritaan parallel diberikan anugerah Best Picture. Setelah pada tahun-tahun sebelumnya ada beberapa film seperti Pulp Fiction,The Hours,dan Magnolia yang membawa gaya penceritaan sama namun tidak berhasil memenangkan anugerah tersebut.


Semakin mendekati dengan waktu sekarang, 2007 merupakan kemenangan dan pengukuhan seorang Martin Scorcese dalam filmnya The Departed sebagai masterpiece film-film mafia multizaman dari seorang maestro perfilman dunia multi zaman pula.Kemenangan The Departed juga sebagai simbol Hollywood mengadatasi film negara lain untuk di buat dengan gayanya sendiri untuk menjadi maestro di mata dunia.
Tahun 2008, giliran Coen Brothers yang sudah lama tidak membuat film hadir dengan No Country For Old Men, cerita tentang 3 idealisme manusia untuk sebuah koper berisi harta,ambisi dan dedikasi.Filmnya berhasil memberikan ketegangan classic di sertai dengan eksekusi film coen brothers yang sangat dingin,sehingga ketegangan tersebut semakin menusuk ke tulang kita.


Cukup sudah di tahun 2007 dan 2008 dimana Oscar sepertinya sedang egois dengan memberikan anugerah film terbaiknya kepada film-film yang tidak berpotensi untuk menarik simpati dunia, 2009 menjadi kemenangang bagi Slumdog Milionaire. Film ini hadir dengan menyampaikan cerita luar biasa untuk penontonya agar merasakan indahnya sebuah kenangan-kenangan proses kehidupan karena suatu saat mungkin akan memengaruhi atau menjadi sebuah solusi atas masalah yang menimpa. Dengan menyisipkan isu kemiskinan atas masalah kependudukan sebuah negara , menurut saya, film ini berpotensi menyentuh pemikiran dan kepedulian para penontonya tentang pengemis anak2 jalanan walaupun masih dalam sebuah pemikiran.Skoring yang semarak bergelora mengiringi penceritaan di filmnya juga terasa kompak beriringan bersama babak demi babak cerita akan sebuah imitasi kehidupan inspiratif kuis who wants to be a millionaire.


Tahun 2010, The Hurt Locker hadir memberikan tontonan pengambaran resiko disorientasi emosi,pemikiran dan tindakan manusia bila pekerjaanya sangat dekat dengan kematian.Mengambil latar cerita yang menggambarkan era baru sejarah dunia yakni perang Irak, menambah ketegangan untuk menyaksikan manusia yang berada di persimpangan antara keberanian dan obsesi dengan tidak melepaskan tanggung jawab. Kemenangan The Hurt Locker pun turut serta mengantarkan Kathryn Bigelow sebagai sutradara perempuan pertama yang memenangkan penghargaan piala sutradara terbaik Oscar. Di luar sana, kememnangan The Hurt Locker sebenarnya tidak lepas dari kontroversi dimana lazimnya para veteran Iraq masih tidak setuju dengan penggambaran yang ada di film ini, namun kritikus film kebanyakan justru mempunyai pandangan berbeda dengan veteran tersebut.Sebaik-baiknya film akan tetap menjadi film, there’s nothing virtual about reality compare for it experience itself and the movie is a virtual to educate better and better to face reality, not as itself. Terbilang “fresh” dalam genrenya dan hampir maksimal di seluruh aspek sebuah film, The Hurt Locker memang film yang sangat baik untuk menutup 10 film dalam dekade film-film terbaik versi patung manusia emas , simbol kesempurnaan dan kemuliaan dalam perfilman dunia.

Kamis, 11 Maret 2010

Dengan Tangkas Menikmati Film is what Kineklub is all about!!!

Berapa banyak yang harus kita ketahui sebelum kita melihat film itu sendiri? Terhadap pertanyaan ini tentu saja tidak mungkin diberikan suatu jawaban gamblang. Kadang-kadang tidak banyak yang kita sadari tentang berapa banyak yang kita ketahui tentang sebuah film sebelum film itu kita tonton. Tapi sebuah petunjuk umum tentang bagaimana caranyanya mempersiapkan diri sebelum menonton sebuah film tentulah ada gunanya.

Pertama-tama, biasanya kita tidak pergi menonton sebuah film yang samasekali tidak kita ketahui, karena ada berbagai sumber dari mana kita dapat menggali berbagai macam ide dan sikap tentang setiap film.Jika informasi yang kita peroleh ini kita pergunakan dengan patut dan tidak membiarkanya terlalu mempengaruhi kita, maka ia dapat memperdalam pengalaman kita ketika menonton film tersebut.Sebaliknya, jika pengaruh-pengaruh ini kita biarkan menguasai diri kita sepenuhya, maka kekayaan dari pengalaman kita yang akan banyak menjadi berkurang.

Salah satu cara umum untuk memperoleh informasi tentang sebuah film sebelum menontonya ialah dengan jalan membaca kritik atau resensi tentang film tersebut. Disamping membantu kita untuk menentukan film mana yang akan kita tonton, resensi dan kritik dapat memberikan pada kita beberapa keterangan penting yang sebenarnya tentang sebuah film. Ia menjelaskan kepada kita tentang nama film, sutradaranya, aktor-aktris yang memegang peranan utama.,ringkasan pokok cerita dan plotnya dan bahkan juga apakah film itu dibuat dengan tatawarna spesifik dengan maksud-maksud tertentu.

Disamping informasi-informasi faktual ini, kebanyakan resensi juga mengemukakan atau memilih unsur-unsur dalam film itu yang terpenting dan patut sekali diberi perhatian, misalnya penghargaan yang diberikan untuk film tersebut.Resensi tersebut juga mungkin dapat membantu kita untuk menempatkan film tersebut dalam suatu konteks yang menghubungkan film tersebut dengan film-film yang sama di masa lampau atau sekarang, dengan jalan membandingkannya dengan film-film lain karya sutradara yang sama.Resensi itu bahkan mungkin mengetengahkan suatu analisa, memcah film itu dalam berbagai bagian dan kemudian meneliti sifat dan proporsi, fungsi dan saling hubungan dari bagian bagian tersebut. Resensi hampir selalu mencakup semacam penilaian terhadapa film tersebut, beberapa pendapat negative atau positif mengenai nilai atau kebaikanya secara menyeluruh. Tapi kita harus memerhatikan dengan teliti ketika membaca sebuah resensi dalam soal ini.

Sebelum menonton film itu sendiri kita sebaiknya hanya menaruh perhatian pada suatu persoalan: apakah film itu cukup menaril dan menyenangkan sehingga patut untuk ditonton. Untuk menjawab pertanyaan ini kita cukup membaca berbagai resensi tentang film itu secara sepintas lalu untuk mengetahui beberapa informasi dasar yang biasanya terdapat dalam resensi, seperti misalnya siapa yang menyutradarai film itu,siapa pemeran utamanya dan apa yang menjadi plot dasar atau masalah pokok film tersebut. Kita juga dapat membaca reaksi penulis suka pada film itu apa tidak. Jika kita merasa tertarik untuk menonton film tersebut, baik juga kita catat unsur-unsur atau sasaran pokok yang di ajukan oleh penulis sebagai hal-hal yang patut secara khusus yang diperhatikan dan juga bagaiman penulis menempatkan film-film tersebut dengan film-film lain di masa lampau atau di masa kini.Tapi sebaliknya , kita sebaiknya melupakan atau mengenyampingkan pendapat-pendapat, analisa ,penafsiran dan reaksi subyektif yang dikemukakan dalam resensi tersebut.Yang paling penting , kita jangan sampai meninjau penilaian seorang kritikus atau reaksi subjektifnya terlalu dalam. Hal ini mungkin akan menghambat atau membatasi tanggapan kita sendiri, sehingga yang kita lihat juga yang hanya dilihat oleh kritikus tersebut, tidak lebih.

Menerima tanggapan seorang kritikus tidak saja akan membatasi tanggapan pribadi dan subyektifnya kita, tapi ia juga akan menghancurkan kebebasan kita dalam memberikan penilaian terhadap film tersebut dan dalam proses ini akan melemahkan persepsi kritis kita. Dalam membaca kritik atau resensi, kita hendaknya ingat selalu bahwa kritik adalah proses yang sangat subyektif sekali, sehingga jika kita terlalu percaya pada sebuah resensi atau pada serangkaian resensi sebelum kita melihat film itu sendiri, maka kita secara serta-merta akan membatasi kesanggupan kita untuk menilai film tersebut secara bebas.Disamping itu jika kita terlalu mengandalkan resensi-resensi, maka kita akan kehilangan kepercayaan pada penilaian kita sendiri seluruhnya dan akhirnya kita akan terombang-ambing antara pendapat-pendapat kritisi saling bertentangan.

Resensi tentu saja tidak merupakan sumber informasi dan penilaian satu-satunya tentang film. Banjir publisitas yang menyertai hampir setiap film seringkali berhasil mempengaruhi pendapat kita.Di luar sana banyak acara-acara televisi seringkali mempertontonkan acara interview dengan actor,aktris atau sutradara dari film-film yang baru saja diedarkan.Jika kita tidak mempunyai jaringan TV kabel, mungkin You Tube bisa menjadi solusinya.Biarpun mustahil untuk dilakukan dan seringkali juga sangat tidak praktis sekiranya bisa dilakukan, menonton sebuah film secara “polos” yang artinya tanpa dibebani pengetahuan apa-apa tentang film tersebut bisa merupakan sesuatu yang sangat ideal. Tanpa informasi tentang film tersebut, kita dapat menontonya dengan sikap yang bebas dari pendapat orang lain.

Lain hal jika kita berkesempatan untuk menonton film pada kedua kalinya,dalam kesempatan menonton yang pertama kita dapat menonton film tersebut seperti biasa dan memusatkan perhatian kita terutama pada unsur-unsur plot, pada efek emosional menyeluruh dan pada ide atau tema pokok. Sebaiknya, sehabis tontonan pertama kita mengambil waktu untuk merenungkan dan menjernihkan tujuan dan tema film tersebut dalam pikiran kita lalu pada kesempatan kedua, kita tidak lagi disibukan oleh ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh “apa yang terjadi”, kita dapat memusatkan perhatian pada masalah bagaimana dan kenapa dari seni pembuat film tersebut.Makin terlatih kita dalam teknik tontonan ganda ini, maka akan lebih mudah bagi kita untuk memadukan fungsi-fungsi kedia kesempatan menonton tersebut menjadi satu.

Jadi, memang sebaiknya jika kita mempersiapkan diri sebelum menonton sebuah film dengan jalanan membaca beberapa resensi, tapi persiapan itu jangan sedemikian rupa hingga tanggapan kita terhadap film tersebut terpengaruh sepenuhnya oleh pendapat orang lain. Tapi lepas dari pilihan yang tersedia bagi kita, apakah menonton hanya sekali, dua kali atau dengan membagi-bagi film tersebut menjadi beberapa bagian pada dasarnya merupakan prosedur mengapresiasi dengan tangkas menikmati film .

Kamis, 04 Maret 2010

UN PROPHET define what so called Mob,Crime and Prison can be on cinema this day

The Prophet mengajak kita memasuki dunia mafia ala The Godfather dari dalam penjara di Prancis melalui seorang pria setengah Arab dan Corsica yang ironisnya tidak bisa berbahasa Prancis, Malik el-Djebena(Tahar Rahim).Dunia dari dalam sana bisa di ibaratkan seperti tidak ada manusia namun yang ada hanya binatang, maka hal ini memaksa Malik El-Djebena harus tunduk terhadap Luciani “a Cesar” supaya keberlangsungan hidupnya di penjara tersebut terlindungi. Cerita ini semakin bergulir secara seru,elegan dan kejam hingga kemudian mengantarkan Malik El-Djebena untuk berkuasa untuk menjelma menjadi seorang A Prophet, layaknya utusan tuhan yang memiliki jutaan umat dalam dunia seperti yang saya sebutkan seblumnya.

Formula film prestisius seperti The Godfather dan The Shawshank Redemption yang diramu dengan skrip dan eksekusi film modern membuat Un Prophet memberikan kenikmatan yang sesuai untuk dinikmati sebagai film jaman sekarang dengan cita rasa yang original. Ini seperti kita mencoba makanan tradisional kampung halaman yang lezat sekaligus bikin kangen tapi kita menemukanya di kota,tidak usah jauh-jauh harus keluar dari peradaban ke kampung halaman.



Chemistry antara Luciani dan Malik yang mengingatkan antara Don Corleone dan Michael,Pertikaian antara Corsica dan Muslim layaknya Corleone Family dan Barzini,Tattaglia Family, Lingkungan penjara dengan lingkungan di luar penjara, Kekerasan yang elegan pada level brutalisme tingkat “aaaggghhh…”,ditambah dengan sisi imajinatif dan surreal karakter Reyed yang merupakan “something fresh added for the genre”(mungkin saya belum nonton Gomorrah,katanya.) dan sedikit style “ngintip” yang beberapa kali hadir dalam filmnya untuk menambah kesan gelap dan dramatis merupakan jaminan dari saya tentang perkawinan cita rasa klasik dengan eksekusi modern itu sendiri, belum lagi kalau saya bisa bahasa Prancis, saya yakin dialog di film ini akan menambahkan level ketegangan sekaligus kagum dengan beberapa yang saya cermati seperti sedang mebicarakan sesuatu yang bijak mengadopsi dari ajaran-ajaran agama Islam, mungkin?

Tidak banyak yang bisa diapresiasi secara visual di mata saya, walaupun warna film yang terkesan biasa tersebut menjadi salah satu kekuatan film ini yang mungkin tidak banyak yang menyadari, tapi untuk masalah akting yang merupakan “soul” dari film-film di genre ini(menurut saya, karena kekharismatikan seorang tokoh dalam film di genre ini bisa jadi mengalahkan ceritanya untuk tetap ditonton sampai selesai) apresiasi di tujukan kepada Malik El-djebena (Tahar Rahim), transformasi dari lelaki keluguan sampai menjadi lelaki kesetanan ditampilkan dengan performa yang cukup “mengerikan” dalam konotasi positif di mata saya untuk segi kualitas seni peran.Menyaksikan kebingungan yang ditampilkan secara simple namun magnetic dalam usaha mendobrak diri menuju sesuatu yang jauh dari sisi kenyamananya menjadi sesuatu yang layak ditonton disepanjang film ini dari seorang Tahar Rahim sebagai Malik El-Djebena. Selain itu, kita juga akan diberikan performa rendezvous to Marlon Brando don Corleone dari Niels Arestrup, isn’t it a rare performance that you dying and thirst to see.

Grand Prix Cannes Film Festival 2009, dan sejumlah nominasi film terbaik kategori foreign dalam acara-acara award season menjadikan tidak perlu ada kata-kata lagi untuk merekomendasikan film ini sebagai sebuah tontonan yang harus, “it’s an event movie of life, a birth of a prophet”.