Rabu, 24 Februari 2010

It’s beautiful, it’s great, and it’s heaven on THE LOVELY BONES

The Lovely Bones/Peter Jackson/Saoirse Ronan-Stanley Tucci-Mark Wahlberg-Rachel Weizs-Susan Sarndon/2009
The Lovely Bones menceritakan pergulatan perasaan seorang gadis belia berumur 14 tahun Susie Salmon (Saoirse Ronan) yang sudah meninggal untuk balas dendam kepada pembunuhnya namun menjadi ironi dengan keinginanya untuk melihat keluarganya merelakan kepergianya. Sebuah film untuk lebih menguatkan kita jika kelak nanti tiba waktunya akan di tinggalkan atau harus meninggalkan orang-orang yang kita sayangi dari kehidupan ini,misalnya ayah,ibu,adik,teman atau kekasih kita sendiri.Simak sebuah narasi dalam film ini yang menandakan hal yang saya utarakan sebelumnya “these are the lovely bones that had grown around my absence, the connection sometimes tenous,sometimes made at a great cost,but often magnificent that happened after I was gone. Then I began to see things in a way that let me hold the world, without me in it..” hiyaa...sedih, namun bayangkan kalau orang yang udah meninggal mendoakan kita yang masih hidup dengan kata-kata seperti itu.

Kekuatan utama cerita dengan tema mengangkat isu arwah penasaran disampaikan dengan penceritaan yang sangat humanis sekaligus menembus batas imajinasi surga idealis setiap manusia dalam novel karya Alice Sebold ini, tak tanggung-tanggung seorang Peter Jackson melirik karyanya untuk di jadikan film layar lebar dan menghadirkan sebuah interpretasi yang mengharukan sekaligus menyayat akan sebuah arti keterikatan cinta yang tidak mengenal perbedaan alam, karena jiwa atau ikatan batin tidak akan pernah terputus oleh perbedaan tersebut.

Dari review ini saya menjanjikan setidaknya ada 2 moment yang sangat menyentuh ketika menonton film ini, ketika seorang ayah harus berhadapan dengan pembunuh anaknya dan ketika Susie benar-benar melihat surga idealisnya di hadapanya, bayangkan perasaan anda ketika harus melihat surga impian anda ,surga yang taraf keindahanya jauh lebih tinggi dari sesuatu yang anda ketahui tentang keindahan yang pernah anda lihat di kehidupan ini. Mungkin anda hanya bisa menangis,atau terdiam tapi yang paling pasti hati anda akan tersentuh dengan perasaan bersyukur, pendek kata “tears of joy”.



Saoirse Ronan yang sebelumnya pernah kita saksikan dalam film Atonement sebagai adik perempuan pencemburu yang bertanggung jawab atas cinta sejati kakaknya yang tidak pernah kesampaian, menyelamatkan sosoknya yang di benci dengan menghadirkan performa yang mengiba hati kita sebagai gadis yang tulus dan kuat untuk menerima kenyataan kalau hidupnya sudah diambil secara “out of nowhere” dengan keji oleh tetangganya sendiri, kehidupan yang hilang hanya atas dasar seorang anak yang ingin menjaga sopan santun dalam bersikap terhadap orang yang lebih tua, terlebih orang tersebut tetangga kita sendiri.

Selain Saoirse, ada 2 bintang lagi yang di mata saya kehadiranya di film ini semakin memberikan warna filmnya terasa lebih nikmat untuk di nikmati. Yang pertama ialah Susan Sarandon yang berperan sebagai nenek semangat jiwa muda Susie, karakter menarik ini semakin “nendang” dengan diperankan oleh Susan Sarandon yang di usia tuanya memang masih pantas untuk sedikit “nakal” dalam memainkan peranya. Yang kedua, yang mendapatkan banyak nominasi penghargaan dalam kategori pemeran pembantu pria terbaik di tahun ini yakni Stanley Tucci sebagai tetangga sekaligus pembunuh Susie. Penampilan Stanley di film ini, patut dihargai atas keberhasilanya menjadi seorang psikopat yang memiliki emosi yang labil, namun tetap berusaha terlihat waras di mata orang banyak, dan entah kenapa tatapan mata Stanley Tucci yang biasanya melankolis, di film ini berhasil menjadi sebuah tatapan mengerikan sekaligus tatapan sejuta makna atas rentetan peristiwa2 tragis dalam hidupnya.

Sayangnya, Peter Jackson mungkin tidak dapat mempertahankan reputasinya sebagai sutradara adapatasi novel yang paling terbaik dengan filmnya yang satu ini,walaupun saya belum membaca novelnya, tapi hampir pasti di pastikan film ini bukan sebuah adaptasi novel Alicia Sebold yang baik. Sepanjang film saya merasakan ada hal,bahkan banyak hal yang terasa tidak match antara setting cerita dengan pergerakan kamera,shot, bahkan scoring yang sangat-sangat Lord of the Rings. Sedikit terselamatkan dengan tone film yang sedikit sesuai terhadap karakter cerita yang bisa di bilang “ dark drama” ini, (PS: jika ada dark comedy,kenapa dark drama tidak ada).Selain itu, cerita ini sebenarnya memiliki kandungan interpretasi surga idealis yang jika kita membaca mungkin akan lebih terasa liberal di banding kita harus melihat interpretasi tersebut secara visual, sehingga kita tidak merasa terbatasi dalam mengimajinasikan surga idealis tersebut. Secara visual, surga idealis Peter Jackson dalam film ini di mata saya terkadang absurd dan berlebihan, berlebihan yang tidak di dukung dengan special effect yang membuat hal berlebihan tersebut menjadi sebuah visualisasi yang “unbelievable” dan menggagumkan, alhasil beberapa namun tidak semua terasa seperti sebuah editan photo yang asal tempel untuk menampilkan kesan aneh,imajinatif tanpa didukung makna-makna inspiratif .

Tidak ada komentar: