Jumat, 18 Juni 2010

If you're going to make a part three, you've got to aim at least this TOY STORY 3 high



2010//Lee Unkrich//Michael Arndt//Tom Hanks-Tim Allen-Michael Keaton-Joan Cusack-Don Rickles

Hampir di semua bagian dalam sebuah film, Toy Story 3 merupakan sebuah petisi untuk pekerja film sekuel supaya terhindar dari semerbak wangi keputusasaan bercerita yang tidak terjadi dalam seri ketiga instalasi film proklamasi Pixar Animation Studios ke dunia mainstream semenjak tahun 1995 silam. Semenjak euforia promosi film ini dari satu tahun yang lalu, yang merupakan menu tahunan Pixar, saya sempat berpikir “Toy Story 3!? Akhirnya orang-orang Pixar mulai putus asa menghadirkan sequel daripada sebuah unknown reality seperti A Bug’s Life,Monster.Inc,Finding Nemo, The Incredibles,Cars,Ratatouille.Wall-e dan Up”. Terlebih dengan sudah adanya Toy Story 2 dan begitu sedikitnya film yang bisa menunjukan “legacy” nya sampai film ke 3, pemikiran yang sangat menganggu ketika masuk ke tahun 2010 dengan menu film Pixar ialah “ Do we really need a Toy story 3?” (percayalah…pemikiran ini bisa sangat menganggu bagi sebagian orang sebelum menonton Toy Story 3)

Mengutip sajak sebuah Shakespeare hampir 500 tahun yang lalu,

“ love can be romantic, passionate, and lustful, the way it is when you’ve fallen for someone new. Love can be protective and patient, as it is between a parent and a child. Love can be loyal and true, dependable and kind, the way it is between close friends”

Dan kurang lebih hampir 500 tahun kemudian pula manusia-manusia di belakang Pixar akhirnya menemukan sesuatu yang terlewatkan dari perasaan cinta kasih manusia oleh Shakespeare

“Love matters because it isn’t really what something we love but what it represents, the way it is in Toy Story 3”

Betul, seperti dalam Toy story 3 yang memberikan perspektif baru tentang cinta terhadap sebuah benda dan bagaimana sebuah benda tersebut mencintai kita kembali ”it’s the new kind of love right?”.Sebuah makna cerita dalam finishing yang sangat brilliant sekaligus perpisahan menyenangkan “legacy” Toy Story.

Mungkin ada baiknya kita menapak tilas sedikit cerita Toy story dari Toy story 1 dan 2 terlebih dahulu.Di tahun 1995, Toy Story pertama hadir dengan cerita Andy mendapatkan mainan barunya Buzz Lightyear dimana hal ini mengancam hierarki Woody diantara mainan-mainan lain sebagai mainan favorit Andy. Sebuah cerita “a blessing in disguise underneath the fantastic premise of talking toys” dalam hal ketika anda menentukan prioritas dan apa rasanya sesuatu yang anda pilih sebagai prioritas tersebut, bagaimana hal ini menyentuh pemikiran anda ke titik yang lebih matang dan bijak bila sesuatu tersebut memiliki perasaan, keluarga misalnya.Toy Story 2, 4 tahun setelah Toy Story 1,di tahun 1999 menekankan kepada tokoh Jessie tanpa mengesampingkan dan mengembangkan character building tokoh-tokoh di film pertama tentang sebuah perasaan ditinggalkan dan menemukan kembali keluarga yang ditinggalkan tersebut.

Opening sequence dari Toy Story 3 sontak langsung memberikan perasaan optimis sekaligus mengharukan dalam imaginasi Andy , rasa cinta Andy terhadap mainan-mainanya.Saya kemudian berpikir kemana mainan-mainan saya yang sering dulu saya susun, saya tata, hanya sekedar membuat formasi sambil nunging-nunging,merunduk,berguling jika yang sekarang saya bisa ingat namun ketika menyaksikan opening sequence tesebut saya seakan terkena petir di hati bahwa “yes, I do have that spirit when I played with my toys not so far behind years ago”

Saya tidak akan menceritakan perjalanan cerita dari Toy Story 3, karena hal tersebut hanya merusak ke-sakralan untuk anda yang belum berkesempatan menikmati filmnya. Saya di sini hanya akan terus memuji-dan memuji betapa film ini berhasil keluar dari jebakan-jebakan bercerita stereotype film-film modern blockbuster, dimana film hanya bergulir babak/plot demi babak/plot seperti punya babak/plot itu sendiri tetapi maknanya hanya ada di akhir film.Toy Story 3 mengiringi babak demi babaknya dengan makna cinta terhadap aspek kehidupan yang utama yakni sebuah keluarga beserta perjalanan memori kehidupan ,pergulatan hati,perubahan,berkah,cita-cita,petualangan,dan “happy times” dalam berbagai caranya menimpa kita sehingga peristiwa-peristiwa tersebut menjadi berkesan,bermakna dan tidak terlupakan.

Sepanjang film, dalam sebuah film dengan karakter yang sangat kaya dan beragam semua terasa merupakan sesuatu yang pernah menjadi milik kita, mainan kita yang bisa membuat tawa mengelitik. Sepanjang film, semua berusaha memberikan performance terbaik dengan mengenalkan kepribadian masing-masing seperti sebuah firasat “like a loving goodbye to something special and magical, than just another new adventure”. Seperti mereka sedang mendefinisikan perasaan baru yang tidak bisa diutarakan ketika kita akan berpisah. Seperti kita harus menjadi anak kecil lagi yang mungkin harus menangis entah itu akibat hilang,dirampas atau menginginkan atas sesuatu yang sifatnya terbuat dari plastik, sebuah mainan.

“as a rule of thumb” Toy Story 3 merupakan sebuah sekuel yang menampar konsep sequel yang biasanya lebih penuh aksi,lebih penuh pemain,lebih epik,lebih,lebih dan lebih. Untuk trilogy Toy Story, sekuel berarti lebih menghadirkan sensasi perasaan dan makna cerita ke arah humanis. Ke arah yang lebih menyentuh titik lebih dalam perasaan penonton yang telah menontonya. 3 Filmnya bertahan di 100% rottentomatoes dengan consensus yang sudah stabil. Inikah puncak film terbaik sepanjang masa di dunia? mengingat godfather pun hanya berhasil dalam 2 seri pertamanya. Tapi yang pasti, "I want to raise my son or daughter like Andy or Bonnie.Everyone does…"

Sabtu, 29 Mei 2010

Tentang Film: Film Perang Abad 21 (1990-2010)

Sudah hampir 3 bulan berlalu malam prestisius penghargaan Oscar yang memenangkan The Hurt Locker sebagai film terbaik di tahun 2009.Terinspirasi dari kemenangan tersebut, saya memutuskan untuk menapak tilas film-film perang abad 21 sepanjang tahun 1990 sampai 2010. Ada yang masih ingat dengan Pearl Harbour, Saving Private Ryan atau The Thin Red Line? 3 judul film ini mungkin 3 dari banyak film perang sepanjang 2 dekade terakhir yang paling “mainstream” atau “familiar” bagi kalangan pencinta film(yang konon hari ini sudah menjadi sesuatu yang mainstream, siapa coba orang yang ga nonton film?, film sekarang sudah menjadi sarana hiburan yang mengedukasi sekaligus MURAH, jadi sekali lagi pertanyaanya siapa coba yang ga nonton film?).
Pertama-tama, mari kita renungkan sejenak pemikiran tentang pendefinisian genre film perang itu sendiri. Sepanjang 2 dekade terakhir, sering terjadi generalisasi ketika film tersebut bersetting militer secara waktu(Perang Dunia ke 2) dan tempat(pasca peristiwa 11 september ,Iraq menjadi ikon baru dalam genre film perang).Dari pengalaman saya, yang bisa saya simpulkan untuk pendefinisian genre film perang ini terbagi menjadi setting waktu, setting tempat dan cerita. Terlihat dari 3 cakupan besar ini, untuk era 2 dekade terakhir sepertinya senjata api,bom, baju loreng, dan tank baja sudah tidak layak menjadi pengkategorian film sebagai film perang.
3 cakupan besar ini merupakan rute yang akan kita lalui dalam perjalanan menapak tilas film-film perang selama 2 dekade terakhir. Mari kita mulai dengan unsur yang paling konservatif, yakni setting waktu. Setting waktu di dalam pemikiran saya ketika mengenrekan film perang ialah ketika ia memanfaat moment historis dalam sejarah dunia. Moment-moment ini tidak lekang dimakan hayat seiring eksplorasi dan eksploitasi untuk pemanfaatan setting waktu dalam sebuah film yang berujung kepada label genre war untuk film tersebut.Perang dunia ke 2(1939-1945),perang dingin(1947-1991), dan peristiwa 9/11. Pada tahun 2001, Michael Bay mencoba membuat sejarah dalam bentuk audio visual dengan tambahan hiburan spesial efek yang pada saat itu merupakan sebuah pencapaian dalam sejarah film, hampir 50 menit durasi filmnya mencoba menggambarkan kondisi Pearl Harbour yang dibombardir oleh Jepang.Saya masih ingat pada tahun 2001, kalau tidak salah saya sudah mulai mempunyai kadar kecintaan pada film yang berlebih dengan mengikuti perkembangan euforia film ini dari sebelum release samapai pada akhirnya memenangkan penghargaan Razzie untuk film terburuk.Apa yang salah dengan Pearl Harbour? Konon film yang lagi-lagi pada saat itu tergolong film dengan budget yang sangat besar, datang dari sutradara yang sempat dinobatkan sutradara “blockbuster” pendulang uang film musim panas no 1 Michael Bay, dan soundtrack yang kuat dinyanyikan oleh Faith Hill dengan judul There You’ll Be (apakah anda melihat formula yang mirip seperti TITANIC) sebenarnya salah satu film yang dinantikan dan diprediksikan berjaya pada Oscar tahun tersebut. Sayangnya, Pearl Harbour sangat mengecewakan dalam urusan box-office apalagi secara kualitas untuk bisa bersaing dalam acara Oscar. Saya tidak bisa terlalu menganalisis, namun yang pasti ketika film ini sudah release dalam bentuk video,film ini mungkin salah satu film yang masuk istilah film sejuta umat, khususnya di Indonesia.Masih mengambil setting waktu yang sama yaitu perang dunia ke 2 kita harus mengingat Steven Spielberg’s Saving Private Ryan, tentang sebuah usaha penyelamatan Ryan, sang anggota keluarga terakhir yang tersisa karena mengabdi untuk perang dunia ke 2 sementara meninggalkan sang ibu untuk hidup sendiri. Sukses Saving Private Ryan sangat ikonik untuk film perang dalam masa 2 dekade terakhir, 5 penghargaan Oscar(Best Director,Cinematography,Editing,Sound Effect,Sound) namun tidak memenangkan Best Picture(yang diraih Shakespeare In Love pada tahun 1998) justru membuat semakin banyak orang akan lebih jatuh cinta dengan film ini.Sukses ini kemudian membuat Steven Spielberg dan Tom Hanks berkolaborasi kembali membuat Band Of Brothers, sebuah filmminiseri terbaik sampai saat ini dimata saya, kisah tentang Easy Company 506th Regiment of the 101st Airborne Division dari awal mereka menjalani masa training untuk menjadi prajurit sampai akhir petikaian perang dunia ke 2 dalam 11 episode miniseri.Band Of Brothers meraih penghargaan dalam ajang golden globe dan juga Emmy (Oscar unutk acara televisi), kembali membawa sejarah perkembangan miniseri kedalam pencapaian kualitas dan budget.Selain itu masih dengan setting waktu yang sama hanya berbeda tempat, muncul film Enemy At The Gates yang menceritakan pertarungan seru antara 2 prajurit sniper rusia dan jerman dalam tingkat ketegangan yang tinggi namun dengan keseruan yang minimalis tanpa harus ada kontak senjata massal.
Setting waktu perang dunia ke 2 terus dimanfaatkan untuk genre film perang namun di sajikan secara antiwar movie. Tahun 1993 Schendler List Berjaya menjadi film terbaik Oscar dan hampir memenangkan penghargaan prestisi lainya termasuk Best Director.Schendler List bercerita tentang Oscar Schendler yang berhasil menyelamatkan ribuan nyawa orang yahudi dengan menjadikan mereka pegawai di pabriknya. Film ini disajikan dengan hitam putih yang menjadikan faktor ikonik menjadi salah satu film antiwar terbaik sampai saat ini.Selain Schendler List, pada tahun 1997, Roberto Benigni Life is Beautiful hadir dengan sentuhan drama dan komedi mengambil setting waktu Perang Dunia ke 2 yang terglong dalam antiwar movie. Life is Beautiful sukses secara kualitas dan materi pada tahun 1997 dengan mendapatkan penghargaan di cannes film festival(Grand Jury) dan Oscar (Best Foreign).
Perang Dunia Ke 2
Antiwar Action/Drama
Schendler List Pearl Harbour
Life is Beautiful Letters of Iwo Jima
The Pianist Das Boot
Thin Red Line Windtalkers
Inglourius Basterds Saving Private Ryan
Empire Of The Sun Band of Brothers
Boy in The stryped Pajamas The Pacific
The Reader Flags of our fathers
Defiance The English Patient
Atonement Enemy At The Gates
Good Captain Corellis Mandolin
Satu lagi setting waktu yang digunakan untuk kebanyakan film perang ialah setting pasca peristiwa 11 Septmber insiden World Trade Center.Mengambil setting yang sebagian besar berlokasi di Irak dimana negara ini merupakan negara yang menjadi target invasi Amerika,sedikit berbeda dengan pola yang terjadi ketika mengambil setting waktu perang dunia 2 dimana kebanyakan film settingan waktu pasca peristiwa 11 September sebagian besar menggambarkan masa depresi prajurit yang berada disana. Dimana perang kontak senjata sangat minim terjadi, sehingga prajurit kebanyakan merasa mereka bukanya sebagai pahlawan namun lebih tepat sebagai penjajah bahkan pembunuh. Film yang paling ikonik untuk menggambarkan masa-masa depresi ini harus saya jatuhkan kepada karya sutradara favorit saya Sam Mendes ,JARHEAD. Sementara untuk film-film yang mengambil setting waktu ini untuk menjadi film action perang biasa harus menerima takdir menjadi film yang tidak menarik, jauh dari euphoria media bahkan kadang harus di cap sebagai film kelas B.Bukan berarti setting waktu ini kurang memberikan variasi dalam film-filmnya, hal yang mungkin bisa dilakukan pemilahan ialah kapan masa-masa depresi ini menarik untuk difilmkan, dari pemikiran ini lahir sebuah subgenre baru yaitu post-war. Sub genre ini sebenarnya tidak begitu baru, jauh sebelum masa 2 dekade terakhir, sebelumnya sempat lahir sebuah subgenre Post-Vietnam war movie.
Untuk sub genre post-iraq war movie, ada 2 film yang menurut saya layak untuk dijadikan ikon yaitu The Messenger(2009) dan The Lucky Ones(2009).The Messenger melejitkan kembali Woody Harelson sebagai actor lawas yang patut dipertimbangkan kembali, sementara film ini cukup berjaya di beberapa festival dan mendapatkan nominasi di golden globe dan Oscar 2010.The messenger bercerita tentang penyampai berita kematian untuk keluarga para prajurit yang gugur di medan perang. Film ini menjadi sangat menarik karena dihadapkan dengan berbagai kondisi dan perasaan para keluarga yang ditinggalkan sementara sang penyampai berita harus siap dengan apapun konsekuensinya, premis cerita yang sangat depresi untuk dialami namun bagi kita sebagai penonton merupakan tontonan yang sangat emosional sekaligus menyentuh.The Lucky Ones bercerita tentang 3 orang prajurit yang kembali dari medan perang tidak sengaja bertemu dan melakukan perjalanan bersama menuju ke rumah masing-masing, ketika mereka sampai ke rumah masing mereka menyadari sebenarnya rumah mereka sudah bukan berisi “keluarga” masing-masing.
11-Sep
Depresi di Irak Depresi Di Amerika
Jarhead Stop-Loss
The Hurt Locker In the Valley of Ellah
The Men Who Stare At Goats Home Of the Brave
Battle For Haditha The Messenger
The Kingdom Brothers
Body Of Lies Taking Chance
Sampai disini jika anda salah satu pencinta film dalam 2 dekade terakhir seharusnya muncul pertanyaan “lalu dimana Black Hawk Down,Blood Diamond, Tears of the sun,Welcome to Sarajevo”hmm…sebenarnya tulisan ini hanya sedikit membantu supaya anda menyadari genre film war itu sangat luas, dan mudah-mudahan tulisan sedikit merangsang anda untuk memulai memilah-milah film yang terkategori genre war itu sendiri. Terakhir..tujuan utama saya membuat tulisan ini karena saya berkesempatan browsing-browsing IMPAWARDS, dan saya menemukan ini




Huff….penasaran dengan sangat yang mampu membuat saya menapak tilas film-film perang 2 dekade terakhir, dan berpikir akan jadi seperti apalagi film yang satu ini.

Ps: saya bukan Wikipedia, jadi kalau ada film-film yang tidak tercantum di atas maaf yaa..kalo mau tahu liat aja di Wikipedia, ketik war film, hahahaha

Selasa, 16 Maret 2010

Dekade Pertama Abad 21 dalam Film-Film Terbaik Versi Patung Manusia Emas itu

Tanggal 8 Maret 2010 tepatnya di Hollywood Kodak Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat acara penganugerahan untuk insan-insan agung dalam perfilman sejagat 82nd Academy Award atau yang lebih awam dikenal sebagai Oscar telah sukses diadakan dengan pendeklarasian film The Hurt Locker menjadi film terbaik atau “Best Motion Picture of the Year” . Judul film The Hurt Locker tidak terasa menandai akhir dari 10 daftar judul film dalam dekade pertama di abad 21 ini. Apa yang sebaiknya kita renungkan untuk mengambil pelajaran atau sekedar mengapresiasi maupun mengkritik dari 10 film terbaik dalam 10 tahun terakhir sekaligus 10 tahun pertama dalam abad 21 tersebut, terlebih mengingat dan menyaksikan ketika kita merefleksikan dengan kondisi perfilman Indonesia yang “semangat dan optimis” namun merasa prihatin dengan penyampaian cerita yang jauh dari pemanfaatan aspek-aspek dalam sebuah film untuk menjadi sebuah tontonan berkualitas dan menghibur tanpa mengesampingkan sisi mengedukasi maupun pewarisan budaya bagi penontonya.



Saya akan mencoba membantu anda terlebih dahulu untuk mengingat judul-judul film yang berhasil memenangkan penghargaan sebagai simbolisasi kesempurnaan dan kemuliaan “manusia emas” dalam dunia perfilman sejagat pada kurun waktu tersebut, yakni American Beauty(2000),Gladiator(2001),A Beautiful Mind(2002), Chicago(2003), The Lord Of the Rings Return of The King(2004),Million Dollar Baby(2005), Crash(2006), The Departed(2007), No Country For Old Men(2008), Slumdog Millionaire(2009), dan terakhir The Hurt Locker(2010).Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pun saya pastinya selalu mengikuti euforia Oscar dengan menonton film-film yang dinominasikan sebelum acara penghargaan hanya demi keantusiasme-an berlebih untuk menerka-nerka sekaligus menentukan film apa yang berhak dianugerahi penghargaan tersebut, dari 10 kali terjebak dalam fenomena tahunan dalam siklus hidup yang saya jalani sampai saat ini sayangnya hanya 1 yang benar-benar sesuai, yakni pada tahun dimana The Hurt Locker menang.Mungkin tulisan ini salah satu bentuk lain yang saya lakukan untuk merayakan kemenangan tersebut.

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai film-film tersebut, saya mencoba menekankan dari awal pemikiran tentang menerima nilai dan potensi sebuah film sebagai karya seni yang tidak semata-mata sebagai media hiburan untuk menikmati sesuatu atau penjelmaan sesuatu yang sedang popular seperti kondisi perfilman Indonesia sekarang dalam pandangan saya, dimana hanya sedikit sehingga terhempas bagaikan pasir yang tersapu ombak di pantai dalam kiasan untuk menggambarkan tak ada seorang pun yang mampu merubah hipnotisme secara sadar sebuah film menjadi karya klasik besar, atau menciptakan karya seni besar dari suatu bentuk tontonan.Jika keberhasilan tersebut telah menciptakan suatu kedudukan finansial bagi produser, bagi banyak pembuat film atau sutradara sukses di negara ini merupakan pembatasan dipaksakan kepada mereka yang ingin mengembangkan kemungkinan artistik suatu film sepenuhnya. Agar bisa berkomunikasi secara efektif dengan sebanyak mungkin orang, mereka terpaksa menurunkan ide-ide dan pencapaian mereka ke tingkat popularitas komersial yang mayoritas kampungan,tidak senonok bahkan dangkal sehingga penonton akan merasa “kembalikan waktu dan perhatian kami”.


Oscar telah merubah cara pandang kita mengenai masalah-masalah sosial dalam 10 jajaran film terbaiknya sepanjang tahun 2000-2010, American Beauty mengajak kita memasuki lingkungan keluarga disfungsional Amerika melalui perasaan seorang ayah yang memasuki usia krisis paruh baya karena hubunganya secara batiniah dengan istri yang bermasalah. Krisis ini semakin memperparah situasi seorang anak perempuanya yang sedang memasuki usia puberitas dimana figur orang tua sangat berperan untuk menjadi tempat bercerita dan berkomunikasi yang paling nyaman. Perselingkuhan kesalahpahaman, sampai fantasi seksual menyimpang menjadi bumbu yang berhasil menyentuh juri-juri Oscar pada tahun 2000 kebelakang dalam drama keluarga yang sangat luarbiasa ini.Kehidupan yang lazim di sebut “suburbian life” yang tenang dan terkesan damai justru biasanya menyimpan masalah yang sangat kompleks sebagai eksplorasi perasaan manusia-manusia di dalamnya,bahkan hal tersebut seringkali harus menguji keterikatan dalam sesuatu yang disebut keluarga, tempat dimana kita akan dipahami apa adanya sebagai manusia yang sudah digariskan takdirnya oleh Tuhan.


Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2002, Oscar harus memberikan predikat Best Motion Picturenya kepada Gladiator yang merubah anggapan kesanggupan manusia untuk menjadi atau mencapai impianya secara “from zero to hero”, Gladiator merupakan cerita yang justru kebalikan dari hal tersebut. Alhasil formula “from hero to zero” semenjak kemenangan Gladiator terus diadopsi oleh Hollywood untuk menjadi cerita-cerita inpiratif pada tahun-tahun kebelakang. Gladiator bila dikaitkan dengan realita pada jaman sekarang ialah betapa banyaknya kalangan dari masyarakat yang cenderung membentuk sebuah kesenjangan sosial cikal bakal kelahiran kapitalisme. Perjuangan melawan kapitalisme ini tergambar secara kolosal dan elegan melalui seorang gladiator yang notabene pada zamannya sama saja seperti budak dalam film Gladiator tersebut.


Pada tahun berikutnya, A Beautiful Mind menjadikan tontonan yang sangat menyentuh tentang arti sebuah kesetiaan dan keterbatasan melalui perjalanan seorang pria penderita schizophrenia dan wanita yang mendampinginya selama sepanjang hidup. Kesetiaan dan keterbatasan tersebut menjadi sebuah hadiah manis dimana kita akan menyaksikan keduanya menjadi inspirasi bagi hidup orang banyak ketika ia mencapai pengakuan teragung sejagat untuk hal kontribusi menuju sebuah pengabdian, A Nobel Prize.A Beautiful Mind mempunyai arti yang sangat special buat saya karena dari 10 film tersebut, ini merupakan film yang berhasil menginspirasi saya untuk mengapresiasi film lebih dalam, dalam realitanya film ini bisa dibilang “mantan”buat saya. Saya tidak lagi menaruh film ini dalam film no 1 favorit sepanjang hidup saya, namun film ini pernah mengisi posisi tersebut.



Mengapresiasi Chicago yang kemudian dinobatkan untuk menjadi salah satu film terbaik Oscar dimata saya mungkin hanya sebuah pencapaian dalam genre film musikal untuk mendapatkan kembali tempat di hati insan perfilman. Bukan dengan alasan yang mengada-ada, Chicago berhasil menjadi potret ambisius seorang insan entertainer dalam keadaan apapun. Bagaiman cerita misteri pembunuhan dapat disampaikan secara berbeda dengan bumbu glamour,indah dan bernyanyi layaknya sebuah film musical ala pentas broadway memang hal yang patut dirayakan pada tahun 2003 silam yang harus dengan memberikan pengakuan sebagai “Best Motion Picture of the Year” untuk Chicago.Hal yang sama kembali terjadi pada Oscar tahun berikutnya ketika The Lord of the Rings: The Return of the King meraih penghargaan yang sama. Pencapaian cerita adapatasi novel sepanjang sejarah sampai saat ini yang nyaris tanpa cela dalam trilogy The Lord of The Rings tidak usah diragukan dan dipertanyakan lagi untuk mendapatkan pengahargaan film terbaik Oscar.


Sayangnya pada tahun 2005 ketika Oscar memenangkan Million Dolar Baby, film yang mengangkat isu dedikasi dan impian dalam balutan isu perjuangan kesetaraan gender justru membuat Oscar pada tahun tersebut kehilangan euforianya. Tampil menjadi luar biasa karena ditampilkan layaknya drama “father daughter relationship” oleh chemistry Clint Eastwood dan Hillary Swank. Tidak dapat diragukan di mata saya 2 nama yang disebutkan sebelumnya menjadi rangsangan kuat untuk menyaksikan filmnya, kolaborasi 2 nama besar peraih 2 kali piala Oscar kategori aktris terbaik dan sutradara terbaik. Untuk sekedar informasi, memenangkan Oscar untuk 2 kali di kategori yang sama sesuatu pencapaian yang mengukuhkan kemampuan mereka tanpa cela.


Kemenangan Crash di tahun 2006 mungkin kemenangan paling fenomenal dalam sejarah Oscar sepanjang 10 tahun kebelakang. Saya masih ingat publisitas media hampir terserap dengan keindahan dalam kepiluan film Brokeback Mountain garapan Ang Lee, film yang sempat mencoba akan merubah pandangan dunia akan isu-isu hubungan cinta sejenis.Tapi Oscar justru memberikan awardnya kepada film yang mencoba menghadirkan isu-isu urban kehidupan modern sehari-hari amerika, negara dengan populasi penduduk paling beragam dunia. Hal istimewa lain dari kemenangan Crash yakni baru pertama kalinya film dengan gaya penceritaan parallel diberikan anugerah Best Picture. Setelah pada tahun-tahun sebelumnya ada beberapa film seperti Pulp Fiction,The Hours,dan Magnolia yang membawa gaya penceritaan sama namun tidak berhasil memenangkan anugerah tersebut.


Semakin mendekati dengan waktu sekarang, 2007 merupakan kemenangan dan pengukuhan seorang Martin Scorcese dalam filmnya The Departed sebagai masterpiece film-film mafia multizaman dari seorang maestro perfilman dunia multi zaman pula.Kemenangan The Departed juga sebagai simbol Hollywood mengadatasi film negara lain untuk di buat dengan gayanya sendiri untuk menjadi maestro di mata dunia.
Tahun 2008, giliran Coen Brothers yang sudah lama tidak membuat film hadir dengan No Country For Old Men, cerita tentang 3 idealisme manusia untuk sebuah koper berisi harta,ambisi dan dedikasi.Filmnya berhasil memberikan ketegangan classic di sertai dengan eksekusi film coen brothers yang sangat dingin,sehingga ketegangan tersebut semakin menusuk ke tulang kita.


Cukup sudah di tahun 2007 dan 2008 dimana Oscar sepertinya sedang egois dengan memberikan anugerah film terbaiknya kepada film-film yang tidak berpotensi untuk menarik simpati dunia, 2009 menjadi kemenangang bagi Slumdog Milionaire. Film ini hadir dengan menyampaikan cerita luar biasa untuk penontonya agar merasakan indahnya sebuah kenangan-kenangan proses kehidupan karena suatu saat mungkin akan memengaruhi atau menjadi sebuah solusi atas masalah yang menimpa. Dengan menyisipkan isu kemiskinan atas masalah kependudukan sebuah negara , menurut saya, film ini berpotensi menyentuh pemikiran dan kepedulian para penontonya tentang pengemis anak2 jalanan walaupun masih dalam sebuah pemikiran.Skoring yang semarak bergelora mengiringi penceritaan di filmnya juga terasa kompak beriringan bersama babak demi babak cerita akan sebuah imitasi kehidupan inspiratif kuis who wants to be a millionaire.


Tahun 2010, The Hurt Locker hadir memberikan tontonan pengambaran resiko disorientasi emosi,pemikiran dan tindakan manusia bila pekerjaanya sangat dekat dengan kematian.Mengambil latar cerita yang menggambarkan era baru sejarah dunia yakni perang Irak, menambah ketegangan untuk menyaksikan manusia yang berada di persimpangan antara keberanian dan obsesi dengan tidak melepaskan tanggung jawab. Kemenangan The Hurt Locker pun turut serta mengantarkan Kathryn Bigelow sebagai sutradara perempuan pertama yang memenangkan penghargaan piala sutradara terbaik Oscar. Di luar sana, kememnangan The Hurt Locker sebenarnya tidak lepas dari kontroversi dimana lazimnya para veteran Iraq masih tidak setuju dengan penggambaran yang ada di film ini, namun kritikus film kebanyakan justru mempunyai pandangan berbeda dengan veteran tersebut.Sebaik-baiknya film akan tetap menjadi film, there’s nothing virtual about reality compare for it experience itself and the movie is a virtual to educate better and better to face reality, not as itself. Terbilang “fresh” dalam genrenya dan hampir maksimal di seluruh aspek sebuah film, The Hurt Locker memang film yang sangat baik untuk menutup 10 film dalam dekade film-film terbaik versi patung manusia emas , simbol kesempurnaan dan kemuliaan dalam perfilman dunia.

Kamis, 11 Maret 2010

Dengan Tangkas Menikmati Film is what Kineklub is all about!!!

Berapa banyak yang harus kita ketahui sebelum kita melihat film itu sendiri? Terhadap pertanyaan ini tentu saja tidak mungkin diberikan suatu jawaban gamblang. Kadang-kadang tidak banyak yang kita sadari tentang berapa banyak yang kita ketahui tentang sebuah film sebelum film itu kita tonton. Tapi sebuah petunjuk umum tentang bagaimana caranyanya mempersiapkan diri sebelum menonton sebuah film tentulah ada gunanya.

Pertama-tama, biasanya kita tidak pergi menonton sebuah film yang samasekali tidak kita ketahui, karena ada berbagai sumber dari mana kita dapat menggali berbagai macam ide dan sikap tentang setiap film.Jika informasi yang kita peroleh ini kita pergunakan dengan patut dan tidak membiarkanya terlalu mempengaruhi kita, maka ia dapat memperdalam pengalaman kita ketika menonton film tersebut.Sebaliknya, jika pengaruh-pengaruh ini kita biarkan menguasai diri kita sepenuhya, maka kekayaan dari pengalaman kita yang akan banyak menjadi berkurang.

Salah satu cara umum untuk memperoleh informasi tentang sebuah film sebelum menontonya ialah dengan jalan membaca kritik atau resensi tentang film tersebut. Disamping membantu kita untuk menentukan film mana yang akan kita tonton, resensi dan kritik dapat memberikan pada kita beberapa keterangan penting yang sebenarnya tentang sebuah film. Ia menjelaskan kepada kita tentang nama film, sutradaranya, aktor-aktris yang memegang peranan utama.,ringkasan pokok cerita dan plotnya dan bahkan juga apakah film itu dibuat dengan tatawarna spesifik dengan maksud-maksud tertentu.

Disamping informasi-informasi faktual ini, kebanyakan resensi juga mengemukakan atau memilih unsur-unsur dalam film itu yang terpenting dan patut sekali diberi perhatian, misalnya penghargaan yang diberikan untuk film tersebut.Resensi tersebut juga mungkin dapat membantu kita untuk menempatkan film tersebut dalam suatu konteks yang menghubungkan film tersebut dengan film-film yang sama di masa lampau atau sekarang, dengan jalan membandingkannya dengan film-film lain karya sutradara yang sama.Resensi itu bahkan mungkin mengetengahkan suatu analisa, memcah film itu dalam berbagai bagian dan kemudian meneliti sifat dan proporsi, fungsi dan saling hubungan dari bagian bagian tersebut. Resensi hampir selalu mencakup semacam penilaian terhadapa film tersebut, beberapa pendapat negative atau positif mengenai nilai atau kebaikanya secara menyeluruh. Tapi kita harus memerhatikan dengan teliti ketika membaca sebuah resensi dalam soal ini.

Sebelum menonton film itu sendiri kita sebaiknya hanya menaruh perhatian pada suatu persoalan: apakah film itu cukup menaril dan menyenangkan sehingga patut untuk ditonton. Untuk menjawab pertanyaan ini kita cukup membaca berbagai resensi tentang film itu secara sepintas lalu untuk mengetahui beberapa informasi dasar yang biasanya terdapat dalam resensi, seperti misalnya siapa yang menyutradarai film itu,siapa pemeran utamanya dan apa yang menjadi plot dasar atau masalah pokok film tersebut. Kita juga dapat membaca reaksi penulis suka pada film itu apa tidak. Jika kita merasa tertarik untuk menonton film tersebut, baik juga kita catat unsur-unsur atau sasaran pokok yang di ajukan oleh penulis sebagai hal-hal yang patut secara khusus yang diperhatikan dan juga bagaiman penulis menempatkan film-film tersebut dengan film-film lain di masa lampau atau di masa kini.Tapi sebaliknya , kita sebaiknya melupakan atau mengenyampingkan pendapat-pendapat, analisa ,penafsiran dan reaksi subyektif yang dikemukakan dalam resensi tersebut.Yang paling penting , kita jangan sampai meninjau penilaian seorang kritikus atau reaksi subjektifnya terlalu dalam. Hal ini mungkin akan menghambat atau membatasi tanggapan kita sendiri, sehingga yang kita lihat juga yang hanya dilihat oleh kritikus tersebut, tidak lebih.

Menerima tanggapan seorang kritikus tidak saja akan membatasi tanggapan pribadi dan subyektifnya kita, tapi ia juga akan menghancurkan kebebasan kita dalam memberikan penilaian terhadap film tersebut dan dalam proses ini akan melemahkan persepsi kritis kita. Dalam membaca kritik atau resensi, kita hendaknya ingat selalu bahwa kritik adalah proses yang sangat subyektif sekali, sehingga jika kita terlalu percaya pada sebuah resensi atau pada serangkaian resensi sebelum kita melihat film itu sendiri, maka kita secara serta-merta akan membatasi kesanggupan kita untuk menilai film tersebut secara bebas.Disamping itu jika kita terlalu mengandalkan resensi-resensi, maka kita akan kehilangan kepercayaan pada penilaian kita sendiri seluruhnya dan akhirnya kita akan terombang-ambing antara pendapat-pendapat kritisi saling bertentangan.

Resensi tentu saja tidak merupakan sumber informasi dan penilaian satu-satunya tentang film. Banjir publisitas yang menyertai hampir setiap film seringkali berhasil mempengaruhi pendapat kita.Di luar sana banyak acara-acara televisi seringkali mempertontonkan acara interview dengan actor,aktris atau sutradara dari film-film yang baru saja diedarkan.Jika kita tidak mempunyai jaringan TV kabel, mungkin You Tube bisa menjadi solusinya.Biarpun mustahil untuk dilakukan dan seringkali juga sangat tidak praktis sekiranya bisa dilakukan, menonton sebuah film secara “polos” yang artinya tanpa dibebani pengetahuan apa-apa tentang film tersebut bisa merupakan sesuatu yang sangat ideal. Tanpa informasi tentang film tersebut, kita dapat menontonya dengan sikap yang bebas dari pendapat orang lain.

Lain hal jika kita berkesempatan untuk menonton film pada kedua kalinya,dalam kesempatan menonton yang pertama kita dapat menonton film tersebut seperti biasa dan memusatkan perhatian kita terutama pada unsur-unsur plot, pada efek emosional menyeluruh dan pada ide atau tema pokok. Sebaiknya, sehabis tontonan pertama kita mengambil waktu untuk merenungkan dan menjernihkan tujuan dan tema film tersebut dalam pikiran kita lalu pada kesempatan kedua, kita tidak lagi disibukan oleh ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh “apa yang terjadi”, kita dapat memusatkan perhatian pada masalah bagaimana dan kenapa dari seni pembuat film tersebut.Makin terlatih kita dalam teknik tontonan ganda ini, maka akan lebih mudah bagi kita untuk memadukan fungsi-fungsi kedia kesempatan menonton tersebut menjadi satu.

Jadi, memang sebaiknya jika kita mempersiapkan diri sebelum menonton sebuah film dengan jalanan membaca beberapa resensi, tapi persiapan itu jangan sedemikian rupa hingga tanggapan kita terhadap film tersebut terpengaruh sepenuhnya oleh pendapat orang lain. Tapi lepas dari pilihan yang tersedia bagi kita, apakah menonton hanya sekali, dua kali atau dengan membagi-bagi film tersebut menjadi beberapa bagian pada dasarnya merupakan prosedur mengapresiasi dengan tangkas menikmati film .

Kamis, 04 Maret 2010

UN PROPHET define what so called Mob,Crime and Prison can be on cinema this day

The Prophet mengajak kita memasuki dunia mafia ala The Godfather dari dalam penjara di Prancis melalui seorang pria setengah Arab dan Corsica yang ironisnya tidak bisa berbahasa Prancis, Malik el-Djebena(Tahar Rahim).Dunia dari dalam sana bisa di ibaratkan seperti tidak ada manusia namun yang ada hanya binatang, maka hal ini memaksa Malik El-Djebena harus tunduk terhadap Luciani “a Cesar” supaya keberlangsungan hidupnya di penjara tersebut terlindungi. Cerita ini semakin bergulir secara seru,elegan dan kejam hingga kemudian mengantarkan Malik El-Djebena untuk berkuasa untuk menjelma menjadi seorang A Prophet, layaknya utusan tuhan yang memiliki jutaan umat dalam dunia seperti yang saya sebutkan seblumnya.

Formula film prestisius seperti The Godfather dan The Shawshank Redemption yang diramu dengan skrip dan eksekusi film modern membuat Un Prophet memberikan kenikmatan yang sesuai untuk dinikmati sebagai film jaman sekarang dengan cita rasa yang original. Ini seperti kita mencoba makanan tradisional kampung halaman yang lezat sekaligus bikin kangen tapi kita menemukanya di kota,tidak usah jauh-jauh harus keluar dari peradaban ke kampung halaman.



Chemistry antara Luciani dan Malik yang mengingatkan antara Don Corleone dan Michael,Pertikaian antara Corsica dan Muslim layaknya Corleone Family dan Barzini,Tattaglia Family, Lingkungan penjara dengan lingkungan di luar penjara, Kekerasan yang elegan pada level brutalisme tingkat “aaaggghhh…”,ditambah dengan sisi imajinatif dan surreal karakter Reyed yang merupakan “something fresh added for the genre”(mungkin saya belum nonton Gomorrah,katanya.) dan sedikit style “ngintip” yang beberapa kali hadir dalam filmnya untuk menambah kesan gelap dan dramatis merupakan jaminan dari saya tentang perkawinan cita rasa klasik dengan eksekusi modern itu sendiri, belum lagi kalau saya bisa bahasa Prancis, saya yakin dialog di film ini akan menambahkan level ketegangan sekaligus kagum dengan beberapa yang saya cermati seperti sedang mebicarakan sesuatu yang bijak mengadopsi dari ajaran-ajaran agama Islam, mungkin?

Tidak banyak yang bisa diapresiasi secara visual di mata saya, walaupun warna film yang terkesan biasa tersebut menjadi salah satu kekuatan film ini yang mungkin tidak banyak yang menyadari, tapi untuk masalah akting yang merupakan “soul” dari film-film di genre ini(menurut saya, karena kekharismatikan seorang tokoh dalam film di genre ini bisa jadi mengalahkan ceritanya untuk tetap ditonton sampai selesai) apresiasi di tujukan kepada Malik El-djebena (Tahar Rahim), transformasi dari lelaki keluguan sampai menjadi lelaki kesetanan ditampilkan dengan performa yang cukup “mengerikan” dalam konotasi positif di mata saya untuk segi kualitas seni peran.Menyaksikan kebingungan yang ditampilkan secara simple namun magnetic dalam usaha mendobrak diri menuju sesuatu yang jauh dari sisi kenyamananya menjadi sesuatu yang layak ditonton disepanjang film ini dari seorang Tahar Rahim sebagai Malik El-Djebena. Selain itu, kita juga akan diberikan performa rendezvous to Marlon Brando don Corleone dari Niels Arestrup, isn’t it a rare performance that you dying and thirst to see.

Grand Prix Cannes Film Festival 2009, dan sejumlah nominasi film terbaik kategori foreign dalam acara-acara award season menjadikan tidak perlu ada kata-kata lagi untuk merekomendasikan film ini sebagai sebuah tontonan yang harus, “it’s an event movie of life, a birth of a prophet”.

Rabu, 24 Februari 2010

It’s beautiful, it’s great, and it’s heaven on THE LOVELY BONES

The Lovely Bones/Peter Jackson/Saoirse Ronan-Stanley Tucci-Mark Wahlberg-Rachel Weizs-Susan Sarndon/2009
The Lovely Bones menceritakan pergulatan perasaan seorang gadis belia berumur 14 tahun Susie Salmon (Saoirse Ronan) yang sudah meninggal untuk balas dendam kepada pembunuhnya namun menjadi ironi dengan keinginanya untuk melihat keluarganya merelakan kepergianya. Sebuah film untuk lebih menguatkan kita jika kelak nanti tiba waktunya akan di tinggalkan atau harus meninggalkan orang-orang yang kita sayangi dari kehidupan ini,misalnya ayah,ibu,adik,teman atau kekasih kita sendiri.Simak sebuah narasi dalam film ini yang menandakan hal yang saya utarakan sebelumnya “these are the lovely bones that had grown around my absence, the connection sometimes tenous,sometimes made at a great cost,but often magnificent that happened after I was gone. Then I began to see things in a way that let me hold the world, without me in it..” hiyaa...sedih, namun bayangkan kalau orang yang udah meninggal mendoakan kita yang masih hidup dengan kata-kata seperti itu.

Kekuatan utama cerita dengan tema mengangkat isu arwah penasaran disampaikan dengan penceritaan yang sangat humanis sekaligus menembus batas imajinasi surga idealis setiap manusia dalam novel karya Alice Sebold ini, tak tanggung-tanggung seorang Peter Jackson melirik karyanya untuk di jadikan film layar lebar dan menghadirkan sebuah interpretasi yang mengharukan sekaligus menyayat akan sebuah arti keterikatan cinta yang tidak mengenal perbedaan alam, karena jiwa atau ikatan batin tidak akan pernah terputus oleh perbedaan tersebut.

Dari review ini saya menjanjikan setidaknya ada 2 moment yang sangat menyentuh ketika menonton film ini, ketika seorang ayah harus berhadapan dengan pembunuh anaknya dan ketika Susie benar-benar melihat surga idealisnya di hadapanya, bayangkan perasaan anda ketika harus melihat surga impian anda ,surga yang taraf keindahanya jauh lebih tinggi dari sesuatu yang anda ketahui tentang keindahan yang pernah anda lihat di kehidupan ini. Mungkin anda hanya bisa menangis,atau terdiam tapi yang paling pasti hati anda akan tersentuh dengan perasaan bersyukur, pendek kata “tears of joy”.



Saoirse Ronan yang sebelumnya pernah kita saksikan dalam film Atonement sebagai adik perempuan pencemburu yang bertanggung jawab atas cinta sejati kakaknya yang tidak pernah kesampaian, menyelamatkan sosoknya yang di benci dengan menghadirkan performa yang mengiba hati kita sebagai gadis yang tulus dan kuat untuk menerima kenyataan kalau hidupnya sudah diambil secara “out of nowhere” dengan keji oleh tetangganya sendiri, kehidupan yang hilang hanya atas dasar seorang anak yang ingin menjaga sopan santun dalam bersikap terhadap orang yang lebih tua, terlebih orang tersebut tetangga kita sendiri.

Selain Saoirse, ada 2 bintang lagi yang di mata saya kehadiranya di film ini semakin memberikan warna filmnya terasa lebih nikmat untuk di nikmati. Yang pertama ialah Susan Sarandon yang berperan sebagai nenek semangat jiwa muda Susie, karakter menarik ini semakin “nendang” dengan diperankan oleh Susan Sarandon yang di usia tuanya memang masih pantas untuk sedikit “nakal” dalam memainkan peranya. Yang kedua, yang mendapatkan banyak nominasi penghargaan dalam kategori pemeran pembantu pria terbaik di tahun ini yakni Stanley Tucci sebagai tetangga sekaligus pembunuh Susie. Penampilan Stanley di film ini, patut dihargai atas keberhasilanya menjadi seorang psikopat yang memiliki emosi yang labil, namun tetap berusaha terlihat waras di mata orang banyak, dan entah kenapa tatapan mata Stanley Tucci yang biasanya melankolis, di film ini berhasil menjadi sebuah tatapan mengerikan sekaligus tatapan sejuta makna atas rentetan peristiwa2 tragis dalam hidupnya.

Sayangnya, Peter Jackson mungkin tidak dapat mempertahankan reputasinya sebagai sutradara adapatasi novel yang paling terbaik dengan filmnya yang satu ini,walaupun saya belum membaca novelnya, tapi hampir pasti di pastikan film ini bukan sebuah adaptasi novel Alicia Sebold yang baik. Sepanjang film saya merasakan ada hal,bahkan banyak hal yang terasa tidak match antara setting cerita dengan pergerakan kamera,shot, bahkan scoring yang sangat-sangat Lord of the Rings. Sedikit terselamatkan dengan tone film yang sedikit sesuai terhadap karakter cerita yang bisa di bilang “ dark drama” ini, (PS: jika ada dark comedy,kenapa dark drama tidak ada).Selain itu, cerita ini sebenarnya memiliki kandungan interpretasi surga idealis yang jika kita membaca mungkin akan lebih terasa liberal di banding kita harus melihat interpretasi tersebut secara visual, sehingga kita tidak merasa terbatasi dalam mengimajinasikan surga idealis tersebut. Secara visual, surga idealis Peter Jackson dalam film ini di mata saya terkadang absurd dan berlebihan, berlebihan yang tidak di dukung dengan special effect yang membuat hal berlebihan tersebut menjadi sebuah visualisasi yang “unbelievable” dan menggagumkan, alhasil beberapa namun tidak semua terasa seperti sebuah editan photo yang asal tempel untuk menampilkan kesan aneh,imajinatif tanpa didukung makna-makna inspiratif .

Senin, 22 Februari 2010

An education to educate lots about lots which is what so wonderful about cinema this day, AN EDUCATION

An Education/Lone Schrerfig/Carey Mulligan-Peter Saarsgard-Alfred Molina-Rosamun Pike/2009

Mari kita berkenalan dengan Jenny(Carey Mulligan) seorang gadis muda yang penuh dengan rasa antusiasme akan berbagai hal,mengingatkan kita dengan karakter Juno yang di perankan oleh Ellen Page dalam film Juno di tahun 2006, tapi bedanya Jenny mungkin sosok cewe idaman para cowo di masa-masa sekolah dulu, dia cantik,dia pintar(what a line of you to say “the first time can only happen once”or “boring,studying is hard and boring,to be bored an bored,there’s no life in it,no colour,no fun”),dia bermain cello,dia bisa bahasa Prancis(saya percaya kalau cewe mengucapkan sesuatu dalam bahasa Prancis, entah kenapa dia akan terlihat lebih cantik)and She’s an OXFORD candidate at it’s time. Namun di sinilah cerita film An Education bermulai, “kesempurnaan” yang ada pada Jenny memang tidak bisa di tembus oleh seorang cowo atau lelaki, kesempurnaan tersebut hanya bisa di tembus oleh seorang pria(agar terlihat level kedewasaan dalam sisi natural laki-laki yang terinspirasi dari sebuah iklan rokok). Meet David( Peter Sarsgaard), seseorang yang hampir dipastikan tidak akan di tolak oleh seorang cewe karena caranya sebagai seorang pria memperlakukan cewe, bahkan saya sendiripun yang seorang cowo menuju pria merasa terinspirasi dengan cara-caranya.
Di buka dengan titling awal yang sangat bagus dengan kesederhanaan tampilan, saya kemudian diajak untuk melihat,merasakan,terbawa dalam dialog demi dialog yang menggelitik sekaligus deg-degan dalam batas tipis antara ketulusan dan manipulasi hubungan romantis Jenny dan David.Jenny yang berjalan kehujanan, sementara David menemaninya naik mobil dengan kaca terbuka supaya mereka bisa berkenalan, di mata saya hal tersebut sangat luarbiasa ketika menontonya, suatu pembuka film yang membuat saya memiliki ekspektasi “ yes, thank’s for this different view cinema of romance” .Untuk lebih meyakinkan lagi bagaimana karakter David yang sangat kuat ini, bayangkan saja bagaimana anda bisa bercerita sesuatu hal yang anda tidak suka dari keluarga anda sendiri dengan seorang “completely stranger” yang baru anda temui,walaupun seseorang tersebut menawarkan tumpangan menuju rumah anda di tengah2 hujan.Mungkin selera humor saya yang ibaratnya “kawin” dengan jokes-jokes khas David ketika menanggapi keadaan khusunya ketika mengobrol dengan wanita misalnya “the banana virginity thing”,atau “the university of life which I didn’t get a very good degree there”, karakter David Goldman menjadi salah satu karakter inspiratif bagi saya. Simak salah satu dialog dari david, ketika kita berusaha mencari pembenaran atas sebuah kekurangan kita dengan maksud supaya orang lain tidak menjadi antipati dengan kekurangan tersebut “we’re not clever like you,so we have to be clever in other ways, because if we we’rent, there would be no fun” .



Selain chemistry kisah cinta tersebut,ada 2 hal menarik dari cerita yang bisa dinikmati dalam film An Education ini,yang pertama yaitu sisi keluarga sportif yang tercermin dari Jack(Alfred Molina) ayah Jenny dan Marjorie(Cara Seymour) ibu Jenny dengan penggambaran lebih manusiawi yang tidak lepas dari kesalahan dan saling maaf-memaafkan alias 1st supporter bagi seorang anak apapun dan bagaimanapun baik atau buruknya seorang anak tersebut yang walaupun lagi-lagi saya harus membandingkan dengan sosok ayah dan ibu yang ada di film Juno.Saya sangat suka komunikasi jujur dan liberal,bahkan harus sampai temperamental (because it show us some emotion when we watch which we won’t see if to compare it against Juno)yang tergambar dalam keluarga manis,kecil,dan supportif seperti keluarga Jenny ini.Yang kedua, the most important one, yakni bagaimana dan seperti apa seorang gadis cantik beranjak dewasa Jenny Mellor harus terjebak antara romantisme cita-cita dan perasaan dalam sebuah keluarga dengan background pendidikan yang naïf dan selfcentered untuk menyimpulkan An education to educated lots about lots , menarik!!!
Dikemas dengan flow cerita yang tidak terlalu lamban,hal-hal yang lagi-lagi tentang Paris, dan tentu saja kelahiran seorang Carey Mulligan (seperti Euforia Ellen Page beberapa waktu kebelakang), An Education memang patut disejajarkan dalam film-film berjaya dengan banyak nominasi-nominasi penghargaan di tahun ini.Menyinggung sedikit film sejenis seperti Up in the air, apresiasi saya harus saya tinggikan sedikit untuk film An Education atas pesan moral yang jauh lebih kuat di banding Up in the air, walau kedua film ini dalam bebearapa aspect skenario,perjalanan cerita,dan karakter utama yang bisa dibilang punya nilai yang sama.